RAHASIA
MENATA KREDIT YANG SEHAT
Oleh : Wangsit Supeno
Setiap bank termasuk BPR akan
beroperasional dengan sehat, jika aset terbesar yang dimilikinya yaitu
berbentuk pemberian kredit yang disalurkan kepada masyarakat kondisinya sehat.
Tingkat kesehatan kredit BPR ditandai dengan sebuah parameter yang disebut
Rasio Non Performing Loan (NPL), dengan standar rasio sehat di bawah 5%.
Mengapa harus kredit? sebab kredit adalah aset terbesar BPR, dan hidup mati BPR
ada di sana. Bila kredit BPR
banyak yang bermasalah maka dipastikan penerimaan uang terhambat, pendapatan
bunga juga terhambat yang berujung pada kurang mampunya BPR dalam memperoleh
laba, sebab terbebani juga biaya penghapusan aktiva produktif yang tinggi.
Kredit adalah aktiva produktif yang dimiliki BPR, sehingga harus produktif
memproduksi pendapatan bunga bukan beban risiko berupa biaya penghapusan aktiva
produktif.
Apabila
diumpamakan tubuh manusia, maka rasio Non
Performing Loan atau NPL ini adalah jantungnya. Apabila jantung tidak
berfungsi secara normal maka akan berisiko pada terhambatnya peredaran darah
dan bisa menimbulkan kematian. Jantung kredit BPR pun bila tidak berfungsi
normal dengan rasio NPL di bawah 5%, maka sudah dipastikan distribusi dana ketubuh
finansial BPR akan terganggu, sehingga terjadilah in efisiensi yang berdampak
pada meningkatnya biaya dana, biaya risiko kredit dan berujung pada tingginya
harga jual suku bunga kredit atau dikenal dengan base landing rate.
Sebagai
contoh kecil saja, bisa dibayangkan, apabila dalam daftar tagihan pada tanggal
2 November 2017, terdapat 50 rekening nasabah yang harus membayar angsuran
misalkan rata-rata Rp. 500.000,- saja, dan dari 50 rekening tersebut, ada 15 orang
yang menunggak pada hari itu, maka dipastikan cash in BPR mengalami penurunan sebesar Rp. 500.000 x 15 atau
sebesar Rp. 7.500.000,- per hari. Jika kondisi ini berlangsung terus selama 25 hari saja, maka terdapat gangguan cash in sebesar Rp. 7.500.000 x 25 atau sebesar Rp. 187.500.000,-. Nah, jumlahnya cukup besar bukan? Bahayanya,
jika kondisi ini berlangsung berbulan-bulan-bulan, bahkan bertahun-tahun bisa
dibayangkan apa yang terjadi pada operasional BPR tersebut.
Dan
jangan lupa bahwa dari jumlah tunggakan tersebut di dalamnya juga mengandung
unsur pendapatan bunga kredit yang akan berdampak pada kemampuan BPR memperoleh
laba. Hal ini juga yang mengakibatkan rasio Return
on Asset (ROA) BPR tidak mencapai angka yang optimal, mengapa? Sebab dari
aset kredit BPR tetap bertahan atau bisa meningkat dari waktu ke waktu, akan
tetapi jumlah pendapatan operasional cenderung menurun, bahkan lambat laun bisa minus jika kredit
bermasalah tidak dituntaskan secara efektif.
Hal
inilah yang kemudian Kredit digolongkan sebagai Aset Berisiko, artinya Kredit bisa berpotensi menyebarkan risiko
kerugian kepada likuiditas, operasional dan bahkan sampai pada risiko reputasi
dan stratejik.
Kesehatan
adalah hal paling bernilai dalam hidup. Uang banyak tetapi tubuh sakit dan
harus dirawat dirumah sakit yang mahal tentu tidaklah nyaman, sekalipun
ruangannya seperti hotel mewah. Jika sudah sakit maka Anda harus menemukan
solusi untuk mengatasinya, bukan hanya diam atau minum obat sekedarnya. Anda
juga harus memiliki tekad kuat untuk kembali sehat sekalipun memerlukan waktu,
mengapa? sebab tekad sembuh yang kuat akan membantu metabolisme tubuh secara
perlahan menyembuhkan penyakit Anda. Hal yang sama pada kesehatan kredit BPR
Anda.
Kredit
yang diberikan awalnya untuk tujuan mulia yaitu membantu nasabah yang mengalami
kesulitan dana, tetapi dengan adanya kredit bermasalah yang tidak terselesaikan kini jadi berbalik membuat BPR sekarat,
tentu saja ini harus menjadi pemikiran yang mendalam dari para pihak yang
bertanggung jawab di dalam organisasi kredit. Mari introspeksi diri, mari lihat
ke dalam organisasi kredit yang selama ini berjalan, mari sadari bahwa niat
saja tidak cukup untuk hasil yang baik, maka diperlukan kehati-hatian,
ketelitian sebelum kredit diberikan dan terus melakukan upaya dengan penuh
kesabaran untuk terus mengupayakan penyelesaian kredit yang memang kondisi
terakhirnya tidak seindah awalnya.
Setelah
merenung maka dilanjutkan dengan tindakan yang progresif, jangan saling salah
menyalahkan satu dengan yang lain, dan merasa putus asa. Teruslah berbuat dengan
berupaya menuntaskan kredit bermasalah dan tetap menyalurkan kredit dalam
koridor aturan yang jelas sesuai regulasi yang telah disusun dan mengacu pada
ketentuan regulator, sehingga kredit yang baru memberikan kesegaran baik
terhadap menurunnya rasio NPL maupun mengalirnya pendapatan. Jadi diperlukan
sebuah respon yang tepat dan inisiatif yang jelas dari sebuah keadaan yang
memang kondisinya sudah kurang baik. Kondisi yang menekan biasanya menjadikan
seseorang muncul kecerdasan luar biasanya yaitu menemukan alternatif alternatif
solusi yang mengarah pada sebuah perubahan budaya kerja yang positif.
Regulasi
Saja Tidak Cukup
Pihak
Regulator dengan sejumlah regulasinya sejak dalam bentuk PBI sampai POJK
terkait kredit dan BPR sudah sangat lengkap, dan setiap BPR sudah memiliki
standar operasional prosedur kredit yang memenuhi unsur regulasi. Akan tetapi
di dalam pelaksanaannya ternyata regulasi yang sempurna belumlah menjamin jumlah
Kredit Bermasalah bisa menurun, meskipun harus diakui bahwa peran regulasi ini
juga sangatlah penting sebagai payung hukum operasional pemberian kredit. Diibaratkan
rambu lalu lintas yang berada di jalan Tol Purbaleunyi yang berliku karena
banyak area berbahaya dipasang begitu lengkap, tetapi masih saja ada
kecelakaan. Bisa dibayangkan juga apa yang akan terjadi jika tidak ada rambu
lalu lintas di sana. Mengapa sudah adanya regulasi yang telah disusun secara
sempurna, tetapi BPR masih kebobolan kredit macet?
Sebab
regulasi kredit yang ada tidak sepenuhnya dijalankan secara konsisten, bahkan
cenderung diabaikan sehingga regulasi yang seharusnya dibuat untuk ditaati
tetapi masih saja ada orang yang mencari kelemahannya, seperti halnya aturan
lampu lalu lintas. Mari kita perhatikan, ada tiga warna lampu lalu lintas yang
terbiasa Anda lihat di persimpangan jalan yaitu Merah, Kuning, dan Hijau yang
harus diperhatikan dan ditaati oleh setiap pengendara. Faktanya yang terjadi
sepertinya ada sebuah perubahan persepsi warna, yaitu lampu warna merah yang
seharusnya berhenti, tetapi saat lampu merah menyala justeru ada saja
pengendara motor atau mobil yang nekat menerobos. Artinya seketat apapun
regulasi, masih saja ada oknum pengendara yang mengartikan warna merah memiliki
makna “berani” bukan “berhenti”.
Nah,
apa yang terjadi, maka ketika ketidak disiplinan dan pelanggaran menjadi sebuah
kebiasaan, sudah dapat dipastikan bukan regulasi yang disalahkan, melainkan
sisi personal atau manusianya yang sulit diatur, mengapa? sebab dalam benak
sipelanggar kepentingan pribadi lebih diutamakan dari kepentingan umum. Artinya
berpulang pada pola pikir manusianya atau Mindset.
Menata
Kredit yang Sehat diawali dengan Menata SDM Kredit yang Sehat
Sadarkah
bahwa sumber penyakit terjadinya kredit bermasalah itu salah satunya adalah ada
peran SDM BPR itu sendiri. Hal ini bisa kita simak diberita-berita yang belum
lama ini terjadi, bukan hanya itu sudah berulang kali terjadi bahwa peran SDM
ini menjadi sumber masalah terganggunya operasional bank. Jadi saya berpendapat
bahwa sebuah BPR yang ingin menata kredit yang diberikan itu Sehat harus
diawali dari menata SDM dan tentu saja semua pihak di BPR yang bertanggung
jawab terhadap penyaluran Kredit itu sendiri memiliki loyalitas yang tinggi
terhadap BPR tempatnya bekerja. Ketahuilah pengalaman, pengetahuan atau kompetensi
yang hebat, sungguh itu belum cukup untuk menjadikan SDM bisa menata kredit
yang sehat. SDM yang sehat 80% dipengaruhi oleh apa yang ada dalam pikiran
bawah sadarnya yaitu apa yang membentuk pola pikir dan jiwanya untuk memiliki
niat mengabdi kepada Tuhan dalam membangun hidup yang berkah dengan bekerja
amanah. Benar atau betul?
Saya
ingin berikan contoh, sebut saja Mas S yang telah menjadi Account Officer di
BPR selama lima tahun, secara berkala disertakan dalam pelatihan kredit,
seorang pekerja keras, cerdas dan target selalu tercapai. Namun akhir-akhir ini
baru ditemukan masalah debitur yang menjadi tanggung jawabnya banyak yang
bermasalah. Selama ini manajemen BPR tidak jeli terhadap proses pemberian
kredit yang dilakukan Mas S, melainkan lebih fokus pada penanganan kredit
bermasalahnya saja, maka perilaku buruk S tidak terdeteksi sehingga masalah
selalu timbul. Setelah diselidiki secara mendalam akhirnya sumber masalahnya
ada pada diri Mas S, yaitu melakukan mark
up pendapatan calon debitur dengan menambahkan sumber pendapatan lainnya
yang didukung bukti yang tidak sesuai dilapangan. Dan Mas S ini selalu menerima
uang ucapan tanda terimakasih dari debitur yang kreditnya telah cair. Alasannya
ia tidak minta dan itu dianggap sebagai rezeki. Apakah benar yang dilakukan Mas
S? apa sumber masalahnya? Yaitu akhlak Mas S yang tidak terpuji. Jadi jika
kredit tersebut bermasalah apa penyebabnya?
BPR
yang mengalami kondisi rasio NPL yang tidak sehat, kira-kira faktor penyebabnya
apa ya? Pada umumnya ada tiga penyebab kredit bermasalah yaitu:
Pertama penyebabnya
dari luar, yaitu kondisi yang sulit untuk dikendalikan misal karena adanya faktor
musibah yang diluar kendali bahkan tidak terprediksi. Sebagai contoh musibah
banjir bandang yang melanda kota Manado dan sekitarnya beberapa tahun lalu berakibat
pada meningkatnya tunggakan debitur, sebab sumber penghasilan beberapa debitur
menurun bahkan terhenti karena dampak musibah. Mengingat termasuk sebagai
musibah nasional, maka ada pertimbangan tersendiri dari pihak regulator. Musibah
adalah faktor diluar kendali BPR, namun BPR bisa mengendalikan risiko
berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi dan melakukan mitigasi risiko.
Contoh mitigasi risiko yang umum dilakukan BPR adalah mengasuransikan jiwa
debitur dan kendaraan bermotor, termasuk jaga bangunan agunan yang lokasinya
riskan dengan kebakaran.
Begitu
juga dengan BPR yang aktif menyalurkan kredit perkebunan atau pertanian, mendadak
NPL meningkat sebagai dampak akibat menurunnya harga pasar komoditi tertentu
atau karena dampak kondisi alam yang tidak bersahabat, dan semua itu juga sulit
dikendalikan BPR. Melihat kondisi seperti ini tentu BPR seharusnya tidak
menyalurkan kreditnya secara total di sektor perkebunan, BPR harus
memperhatikan penyebaran kredit disektor lainnya untuk meminimalkan risiko.
Penyebab
yang kedua adalah debitur atau nasabah itu sendiri. Kira-kira apa penyebab
debitur gagal bayar? Biasanya karena usaha tersendat, usaha bangkrut, di PHK, usaha
dikelola pihak lain, kredit tumpangan di mana debitur hanya menggunakan nama
saja dengan alasan sudah dikenal baik oleh pihak BPR, debitur melarikan diri karena
tempat tinggal kontrak atau menumpang dengan orang tua atau mertua. Masih ada
lagi yang sering dijumpai dilapangan, debitur menyalah gunakan dana tidak
sesuai tujuan penggunaan kredit, seperti gali lubang tutup lubang, ekspansi
usaha yang tidak dikuasai ilmunya karena terlalu percaya orang lain di mana
modal diserahkan lalu akhirnya usaha macet, dana kredit diinvestasikan debitur
pada investasi bodong, dengan harapan mendapat imbal balik yang tinggi, dana
kredit digunakan untuk menambah isteri baru, dan sebagainya yang kesemuanya ulah si
debitur. Maka benarlah bahwa informasi tentang debitur itu bersifat asimetris,
artinya pada saat pengajuan, maka hanya sidebitur yang paling tahu didalam alam
bawah sadarnya untuk apa dana kredit akan digunakan setelah diterima nanti.
Apakah pihak BPR masih bisa intervensi untuk mengendalikan permasalah yang
bersumber dari debitur sebelum kredit diberikan? Seharusnya ya, BPR masih bisa
asalkan BPR tidak ceroboh, tidak terdorong nafsu menggelembungkan aset kredit
agar terlihat bagaikan bangunan megah yang banyak orang mengagguminya tetapi
bahan bangunan itu rentan risiko ambruk. BPR juga tidak terdorong nafsu untuk
meraih laba yang sifatnya fatamorgana dengan prinsip high risk high return. Maka benarlah bahwa prinsip kehati-hatian
harus selalu dipegang dalam proses pemberian kredit yang sehat. Tetapi
pertanyaannya siapa yang menerapkan prinsip kehati-hatian secara konsisten? Ya
tentu saja seluruh SDM Kredit yang terlibat di BPR tersebut. Lagi-lagi ujungnya
adalah SDM. Benar atau betul.
Nah,
Penyebab ketiga terjadinya kredit bermasalah adalah faktor internal di BPR. Apa
saja faktor internal di BPR? Menurut saya terbagi atas tiga akar permasalahan
yang masuk ke dalaam faktor internal BPR, yaitu:
Pertama
adalah kelemahan manajemen dalam membuat kebijakan kredit termasuk standar
operasional prosedur pemberian kredit yang tidak berpondasi pada prinsip
kehati-hatian seperti telah diatur dalam regulasi. Kebijakan kredit tidak di up date atau dikinikan sesuai situasi
dan kondisi terakhir. Dalam pelaksanaannyapun Kebijakan dan SOP Kredit tidak sepenuhnya
digunakan secara konsisten dan berkesinambungan sebagai pedoman dalam pemberian
kredit yang sehat. Kebijakan kredit hanya sekedar pemenuhan syarat pelaporan, di
mana yang seharusnya bisa menjadi GPS bagi manajemen dalam memberikan kredit
yang akan memandu ke arah pada pemberian kredit yang sehat. Bagaimana kelemahan ini bisa dilihat dalam
praktek pemberian kredit di BPR? Kelemahan bisa terlihat pada saat keputusan
kredit yang tidak didasarkan pada kebijakan yang berlaku. Contoh, agunan kredit
yang kondisinya tidak layak masih dinilai seperti layaknya agunan yang
sempurna, begitu juga banyak kelemahan dalam pengikatan agunan, sehingga saat
kredit memasuki area hukum, BPR mengalami kesulitan melakuka eksekusi.
Kedua
adalah kurangnya kemampuan staf Account Officer atau Analis Kredit dalam
melakukan tugasnya memproses kredit. Hal ini bisa disebabkan karena terlalu
seringnya gonta ganti SDM kredit atau karena masih barunya staf atau
kompetensinya dibidang perkreditan masih kurang termasuk akibat dari rotasi
yang tidak dilanjutkan dengan edukasi internal mengenai pekerjaan di bidang
perkreditan. Contoh, setiap tiga bulan BPR memberhentikan Account Officer yang
ada dengan Account Officer yang baru tanpa proses seleksi yang baik. Akhirnya
tugas yang dijalankan tidak optimal, dan perusahaan melakukan penggantian. Hal
seperti ini sering terjadi dan bagian HRD tidak melakukan edukasi terhadap staf
yang baru melainkan langsung terjun ke lapangan, sehingga kualitas pemrosesan
kredit rentan risiko.
Ketiga
adalah kurangnya pembekalan mental kepada SDM yang menangani kredit. SDM tidak
dibangun karakternya secara terstruktur, di mana ada dua karakter penting yang
harus ada dalam diri SDM yang manangani kredit yaitu Karakter Integritas dan
Kejujuran yang membentuk ahlak sehingga amanah dalam bekerja. Bekerja dilandasi
pada pembangunan kecerdasan emosi dan spiritual sebagai sumber lahirnya sikap
jujur, integritas, semangat, kerja keras dan amanah. Pada hal kecerdasan
emosional dan spiritual yang ada dalam diri seseorang memiliki peran 80%
terhadap kesuksesan seseorang dalam hal ini kinerja. Contoh, banyak kita
saksikan SDM kredit melakukan penyimpangan wewenang atau fraud yang berdampak pada meningkatnya kredit bermasalah yang sulit
diselesaikan karena adanya manipulasi data analisa seakan-akan layak kredit
diberikan. Begitu juga ketika ada unsur kepentingan dengan memanfaatkan
kelemahan pengendalian intern BPR, maka SDM Kredit bisa melakukan tindakan yang
menyalahi hukum tanpa perasaan berdosa dan memikirkan karyawan lainnya yang
membutuhkan pekerjaan di BPR tersebut. Ia tidak memikirkan dan merasa bahwa
dana yang disalurkan adalah dana nasabah yang begitu percaya kepada BPR untuk
dikelola dengan baik. Hatinya tertutup awan gelap dan terjadilah belenggu
mental. Jika hati ini bermasalah maka semua tindakan dan hasilnya juga
bermasalah.
Ada
ungkapan, Sukses adalah sebuah perjalan bukan tujuan. Artinya, untuk mencapai
sebuah kesuksesan dalam membangun BPR yang sehat harus melalui sebuah proses
perjalanan yang panjang. Seluruh pihak yang terkait (stake holder) wajib bersama-sama mengantisipasi dan menanggulangi
keadaan kapal BPR di tengah lautan usaha yang terkadang dihantam ombak yang
keras dan diterpa angin yang menjadikan layar bisa terkoyak. Semua tetap tenang
dan terus bersama mengarahkan kapal menuju pulau kesuksesan dengan dipimpin
nakhoda yang berani, inisiator dan penuh kasih sayang.
Hal ini sama juga dengan pengelolaan kredit di BPR, manakala setiap SDM yang bertanggung jawab terhadap kesehatan kredit mulai dari level atas, menengah dan bawah memiliki positive mindset dan inisiatif yang memahami bahwa Kepentingan Bersama harus didahulukan maka, maka prosentasi terjadinya kredit bermasalah ini saya yakin masih bisa dikendalikan, baik dengan melakukan ekspansi kredit yang baru secara sehat, memonitor kredit yang menunggak secara konsisten sekalipun masih tergolong lancar, melakukan tindakan progresif dan pendekatan musyawarah untuk menurunkan jumlah kredit yang tergolong kurang lancar sehingga kembali lancar. Selanjutnya BPR dapat membentuk tim khusus untuk menangani kredit yang tergolong diragukan dan macet. BPR juga secara konsisten membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif sesuai kondisi yang sebenarnya, walaupun dampaknya memangkas laba tetapi mau tidak mau hal itu harus dilakukan.
Dengan
kesepakatan bersama dari seluruh SDM kredit dari level atas sampai bawah untuk memiliki
keyakinan bisa menciptakan kredit yang sehat, maka seluruh prinsip dan
kebijakan perkreditan sesuai manajemen risiko kredit dan tatakelola BPR dapat
dijalankan secara konsisten dan menyeluruh. Saya yakin sekali kredit BPR
perlahan menuju jalannya yang benar sehat dan bermanfaat, sehingga seluruh stake holder kelak bisa tersenyum manis.Awan
yang gelap yang selama ini menyelimuti BPR perlahan pergi dan cahaya kesuksesan
dan kebahagiaan kini hadir di hadapan Anda.
Bayangkan
dan Rasakan semua menjadi menyenangkan. Saya merasa yakin itu bisa terjadi pada
semua BPR di negeri ini. Bagaimana Anda Yakin juga kan hal ini bisa terjadi?
Betul atau Benar! (Depok 041117).